Industri Telekomunikasi Indonesia di Ambang Genting: Mendesak Regulasi OTT untuk Mengendalikan Raksasa Digital

Industri telekomunikasi di Indonesia sedang menghadapi situasi yang sangat krusial. Tekanan finansial dan tantangan model bisnis yang terus berubah membuat para pelaku industri mendesak pemerintah untuk segera merumuskan regulasi komprehensif terhadap layanan Over-The-Top (OTT), terutama yang disediakan oleh raksasa digital global seperti Google, Meta, dan lainnya. Keluhan utama yang disuarakan adalah ketidakseimbangan yang mencolok antara kontribusi OTT dan operator telekomunikasi dalam ekosistem digital, serta dampak negatifnya terhadap keberlanjutan bisnis telekomunikasi nasional.

Ketimpangan dan Beban yang Tidak Seimbang

Dalam ekosistem digital saat ini, operator telekomunikasi ibarat "pipa" yang menyediakan infrastruktur vital bagi lalu lintas data. Mereka membangun, memelihara, dan terus berinvestasi besar-besaran dalam jaringan demi memastikan konektivitas yang lancar. Namun, para penyedia layanan OTT, yang sebagian besar merupakan perusahaan asing, justru menikmati keuntungan besar dari penggunaan infrastruktur ini tanpa kontribusi yang sepadan. Mereka enggak perlu berinvestasi dalam pembangunan jaringan fisik di Indonesia, tapi meraup pendapatan signifikan dari iklan, data pengguna, dan layanan lainnya yang disalurkan melalui jaringan operator lokal.

Situasi ini menciptakan ketimpangan yang merugikan. Operator telekomunikasi menanggung beban investasi yang besar dan menghadapi persaingan ketat, sementara pendapatan mereka terus tergerus oleh layanan OTT yang gratis atau murah. Padahal, tanpa infrastruktur yang kokoh dari operator, layanan OTT enggak akan bisa diakses sama sekali oleh masyarakat.

Urgensi Regulasi OTT: Menjaga Keberlanjutan Industri Nasional

Kondisi ini telah mencapai titik "genting" bagi industri telekomunikasi Indonesia. Kalau dibiarkan berlarut-larut, keberlanjutan bisnis operator telekomunikasi bisa terancam. Padahal, industri ini adalah tulang punggung konektivitas digital nasional dan punya peran strategis dalam pembangunan ekonomi dan transformasi digital Indonesia.

Oleh karena itu, dorongan untuk segera membuat regulasi OTT menjadi semakin kuat. Beberapa poin krusial yang diharapkan bisa diakomodir dalam regulasi tersebut antara lain:

  1. Keadilan Kontribusi (Fair Share): Regulasi diharapkan dapat memastikan adanya kontribusi yang adil dari penyedia layanan OTT terhadap penggunaan infrastruktur telekomunikasi. Ini bisa berupa skema bagi hasil, pungutan, atau bentuk kontribusi lain yang memastikan adanya timbal balik yang setara atas penggunaan jaringan.

  2. Perlindungan Data dan Konsumen: Regulasi juga harus mencakup aspek perlindungan data pribadi pengguna dan hak-hak konsumen. Banyak data pengguna Indonesia yang mengalir dan diolah oleh perusahaan OTT asing, jadi perlu ada jaminan keamanan dan kedaulatan data.

  3. Kepatuhan Hukum dan Pajak: Regulasi OTT diharapkan dapat memastikan bahwa semua penyedia layanan OTT, baik lokal maupun asing, beroperasi di Indonesia dengan mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku, termasuk kewajiban pajak. Ini penting untuk menciptakan level playing field yang adil.

  4. Inovasi dan Persaingan Sehat: Meskipun mengatur, regulasi juga harus dirancang agar enggak menghambat inovasi dan tetap mendorong persaingan yang sehat di ekosistem digital. Tujuannya bukan untuk mematikan layanan OTT, melainkan untuk menciptakan ekosistem yang lebih seimbang dan berkelanjutan.

Langkah ke Depan

Pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi), diharapkan dapat segera menindaklanjuti desakan ini dengan menyusun regulasi OTT yang komprehensif dan berpihak pada kepentingan nasional. Dialog intensif dengan seluruh pemangku kepentingan, termasuk operator telekomunikasi, penyedia OTT, akademisi, dan masyarakat sipil, perlu dilakukan untuk menghasilkan regulasi yang efektif dan diterima semua pihak.

Dengan adanya regulasi OTT yang kuat, diharapkan industri telekomunikasi Indonesia bisa kembali bernapas lega, melanjutkan investasi dalam infrastruktur, dan terus berkontribusi pada kemajuan digital bangsa, sambil tetap memastikan layanan-layanan digital yang inovatif tetap bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat. Ini adalah langkah krusial untuk menjaga kedaulatan digital Indonesia di tengah dominasi raksasa teknologi global.

--------------------------------------------------

Ada pertanyaan dari Mas Sugihartono melalui LinkedIn, pertanyaan sebagai berikut:
Menarik untuk didiskusikan.
Dengan logika yang sama untuk sektor transportasi, sekarang dengan konektivitas jalan tol yang makin bagus bisnis tour, travel, ekspedisi, PO Bus, logistik, dan bidang terkait makin berkembang.

Seperti bus AKAP yang awalnya hanya bus malam, sekarang banyak angkatan pagi.

Apakah perlu ditinjau ulang bagaimana bisnis diatas jalan tol ini dijalankan? Atau tetap saja mereka adalah pengguna jalan tol terlepas dari mau dipakai untuk bisnis atau personal?

Mohon pencerahan dari Pak

Berikut penjelasannya:

Analogi Sektor Transportasi dan Jalan Tol dengan Industri Digital dan OTT

Pertanyaan Mas Sugihartono sangat relevan dan menarik untuk didiskusikan, terutama dalam konteks perbandingan antara industri telekomunikasi dengan Over-The-Top (OTT) dan sektor transportasi dengan jalan tol.

Secara fundamental, ada perbedaan mendasar namun juga kesamaan menarik dalam logikanya. Mari kita bahas:

Jalan Tol dan Sektor Transportasi: Pengguna dan Penyedia Infrastruktur yang Jelas

Dalam analogi jalan tol, operator jalan tol (penyedia infrastruktur) dan perusahaan transportasi (pengguna/penyedia layanan di atas infrastruktur) memiliki hubungan yang cukup jelas:

  • Operator Jalan Tol: Membangun dan memelihara jalan tol. Mereka mendapatkan pendapatan dari tarif tol yang dibayar oleh semua pengguna, baik individu maupun bisnis (tour, travel, ekspedisi, PO Bus, logistik).

  • Perusahaan Transportasi: Menggunakan infrastruktur jalan tol untuk menjalankan bisnis mereka. Mereka membayar tol sebagai biaya operasional, yang kemudian dibebankan kepada pelanggan mereka. Perkembangan bisnis mereka (misalnya, lebih banyak angkatan bus AKAP) justru meningkatkan penggunaan jalan tol, yang secara langsung menguntungkan operator jalan tol.

Dalam skema ini, tidak ada pihak yang merasa dirugikan secara fundamental dalam hal penggunaan infrastruktur. Semakin ramai jalan tol, semakin besar pendapatan operator. Perusahaan transportasi berkembang, mereka juga membayar lebih banyak tol. Model bisnisnya sinkron.

Industri Digital dan OTT: Peran yang Terdistorsi

Sekarang, mari kita bandingkan dengan industri telekomunikasi dan OTT. Operator telekomunikasi ibarat "jalan tol digital" yang membangun dan memelihara jaringan (fiber optik, menara BTS, spektrum frekuensi). Mereka mengeluarkan investasi triliunan rupiah.

Namun, penyedia OTT (Google, Meta, YouTube, WhatsApp, dll.) menggunakan "jalan tol digital" ini tanpa membayar tarif langsung kepada operator telekomunikasi layaknya pengguna jalan tol. Mereka menghasilkan pendapatan besar dari iklan dan data pengguna yang melewati "jalan tol" tersebut, tanpa berkontribusi secara langsung pada biaya pembangunan atau pemeliharaan "jalan tol" itu sendiri.

Ini menciptakan distorsi atau ketimpangan:

  • Operator Telekomunikasi: Menanggung biaya infrastruktur yang sangat besar. Trafik data yang melonjak karena penggunaan OTT justru membebani jaringan mereka, mendorong mereka untuk investasi lebih besar lagi, namun tanpa kompensasi langsung dari penyedia OTT.

  • Penyedia OTT: Meraup keuntungan besar dari penggunaan infrastruktur yang bukan milik mereka, tanpa menanggung beban biaya infrastruktur yang proporsional.

Mengapa Regulasi OTT Mendesak?

Perbedaan utama ada pada mekanisme pembayaran dan kontribusi. Di jalan tol, ada mekanisme pembayaran yang jelas dan langsung dari pengguna ke penyedia infrastruktur. Di dunia digital, mekanisme ini belum ada atau tidak adil bagi operator telekomunikasi.

Maka dari itu, urgensi regulasi OTT muncul bukan karena ingin menghambat bisnis mereka, melainkan untuk menciptakan keadilan dalam kontribusi terhadap infrastruktur. Tujuannya adalah agar ekosistem digital lebih berkelanjutan dan operator telekomunikasi bisa terus berinvestasi demi konektivitas yang lebih baik, yang pada akhirnya juga menguntungkan pengguna OTT.

Apakah perlu ditinjau ulang bagaimana bisnis di atas jalan tol dijalankan?

Untuk jalan tol dan transportasi, model yang ada saat ini sudah cukup seimbang karena adanya mekanisme pembayaran tol. Perusahaan transportasi membayar sesuai penggunaan.

Namun, untuk industri digital, yang perlu ditinjau ulang adalah bagaimana kontribusi OTT terhadap infrastruktur digital yang mereka gunakan secara masif. Ini bukan tentang membatasi mereka sebagai pengguna, tapi tentang membangun mekanisme "tol digital" yang adil, agar beban investasi infrastruktur tidak hanya ditanggung oleh operator telekomunikasi. Ini juga untuk memastikan kedaulatan digital dan perlindungan data nasional.

Regulasi OTT diharapkan bisa menciptakan level playing field yang adil, mendorong investasi berkelanjutan di bidang telekomunikasi, dan pada akhirnya, mendukung pertumbuhan ekonomi digital yang lebih sehat di Indonesia.

Buku: AI-Powered Strategic Management

Comments