The Challenges of Digital Content Monetization in Indonesia


Kalau kita lihat saat ini, monetizing digital content yang paling mudah dan paling banyak digunakan adalah Free Business Model dengan advertising sebagai revenue model-nya. Namun saya banyak menerima keluhan dari media online yang menyatakan akhir-akhir ini revenue-nya drop sekali dari iklan.

Saya sebagai praktisi di digital business juga mengalami hal yang sama, revenue dari advertising cenderung turun, bukan spend ads dari advertizer yang turun, tapi jumlah publisher yang memperebutkan revenue ads yang bertambah banyak sehingga dibagi-bagi.

Disisi lain, publisher content yang berkualitas merasa dirugikan, karena harga ads-nya, dalam hal ini CPM/CPV/CPC disamakan dengan content yang mohon maaf dari copy paste ataupun yang isi content-nya bombastis hanya untuk mengejar trafik.

Untuk itu digital media dan online content creation di Indonesia perlu melakukan shifting dengan beralih ke Freemium Business Model, content basic diberikan secara gratis ke konsumen, kemudian untuk content premium dikenakan charge melalui subscription, sebagai contoh Tech in Asia dan Disney+.

Atau bisa juga langsung Paid Business Model, artinya konsumen harus bayar (subscription) untuk menikmati content atau layanan, seperti Netflix.

Tantangan bagi subscription revenue model di Indonesia adalah masih rendahnya average revenue per user, artinya keinginan konsumen di Indonesia untuk membeli atau berlangganan content masih rendah. Tapi menurut saya trend-nya kedepan akan meningkat seiring dengan tingkat kemakmuran warga.

Tantangan lainnya adalah digital payment. Penetrasi kartu kredit di Indonesia sangat rendah hanya di bawah 6%. Agak berat untuk menaikkannya. Salah satu alternatifnya adalah melalui eMoney ataupun eWallet. 

Adanya wabah pendemi Covid-19, mendorong perbankan konvensional mengembangkan digital banking, ini bagus untuk mendukung layanan berbasis subscription di Indonesia.

Comments

Post a Comment